Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta
bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil
sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di
Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta
penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda
terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun
kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,
yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878
dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan
pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara
dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si
Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh
Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya
dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para
raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia
dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah
Hindia-Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus
melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878
beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang,
Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.
Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan
konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh,
secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige
pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.